Skip to main content

An-nazhaafatu minal iimaan

An-nazhaafatu minal iimaan

Aku ingin memulai tulisanku ini dengan menjauhkan amarah dan rasa pesimis dulu. Terus terang alasan aku menulis tulisan ini asalnya dari amarah dan rasa pesimis. Jadi ketika aku mengetik tulisanku ini (pake komputer kakaku di kamarnya sambil mendengarkan musik) aku berusaha untuk tenang (it worked a little).

Judul di atas sepertinya sudah jelas. Bagi kaum muslim tentu saja sudah sering mendengar kata itu. Karena untuk melakukan apa-apa harus dimulai dengan kebersihan. Menurutku yang masih awam bersih itu bisa bersih hati, pakaian, atau lingkungan dan lain sebagainya. Yang ingin aku bahas di sini mulai dari bersih yang tingkat rendah dulu, bersih lingkungan which means kita bebas dari S. A. M. P. A. H. End of story.

Kayaknya sudah enek orang denger kata sampah karena ya...itu sekarang menjadi salah satu problem di kota kita, Bandung, bagi yang orang Bandung. Malah sekarang sedang rame tentang pengolahan sampah model baru. Di mana-mana terpampang spanduk yang mendukung pengolahan sampah model baru tersebut. Tapi sayangnya menurut berita masih terganjal beberapa masalah.

Sampah bukan hanya masalah kota Bandung. Aku pernah lihat berita di TV, ternyata Itali pun punya masalah dengan penumpukan sampah di salah satu kotanya (de javu. Seperti melihat kota Bandung beberapa waktu yang lalu). Sampah sebenarnya akan menjadi masalah yang biasa jika kita sadar bahwa sampah itu bukan hanya masalah PD kebersihan saja. Sayangnya sampai sekarang beberapa orang masih menanganggap sampah itu masalah pemerintah karena “KITA SUDAH MEMBAYAR” uang retribusi pada pemerintah. Period, tidak ada tapi tapi lagi.

Aku sebelumnya pernah menulis tentang bagaimana marahnya aku waktu pulang nonton bersama temanku, Noe. Orang dengan semangatnya berlomba-lomba membuang sampah sembarang despite the fact that THEY HAD THE PLASTIC BAG WITH THEM. Sepertinya ALERGI untuk membuang sampah yang dihasilkan oleh mereka sendiri itu. Anehnya kalau kita pergi ke mall-mall kita bisa untuk tidak membuang sampah sembarangan. Atau karena di sana ada petugas yang tentu akan memperingatkan kita jika kita membuang sampah sembarang. Jadi, kesadaran kita baru ditingkat itu, well, that reminded me of elementary students. Kayak murid-murid kelas satu, dua atau tiga yang masih perlu diperingatkan untuk tidak melakukan hal yang salah, misalnya masalah kuku yang panjang dan kotor.

Are we them? That’s my questions. Kalau kata orang Sunda mah urang teh geus jalalebrog euy! (kita sudah besar) masa masih perlu petugas yang memperingatkan kita untuk tidak membuang sampah sembarangan, or Do we? Suatu hari aku pernah pergi ke sebuah acara di sebuah gedung. Mereka tentunya dibagikan makanan. Begitu acara selesai (sebenarnya sebelum acara selesaipun tumpukan sampah sudah terlihat di mana-mana) yang tersaji dihadapan mata adalah S. A. M. P. A. H. Kulihat mereka membawa tas tapi sepertinya mereka enggan untuk menyimpan sampah bekas makanan yang mereka bawa itu untuk mereka simpan di dalamnya. Ah, mungkin tas mereka terlalu higenis atau terlalu mahal bagi sampah itu untuk masuk. Atau mereka sudah menganggap semua tempat itu adalah tempat sampah, dengan bebasnya sampah bisa dibuang di mana saja. Atau seperti kataku di atas tadi, karena mereka sudah bayar retribusi sampah kepada pemerintah. Atau mereka terlalu baik hati untuk menghilangkan mata pencaharian orang. Bayangkan kalau Bandung ini bersih tak ada sampah satupun, nanti tidak ada orang yang akan dipekerjakan sebagai petugas kebersihan.

Satu hal lagi yang membuat aku heran, mereka merasa nyaman berada di lingkungan sampah itu, padahal yang aku tahu mereka bukan pemulung yang harus dengan terpaksa hidup berdampingan dengan sampah. Mungkin pemandangan itu seperti sebuah seni atau aromanya begitu memikat jadi mereka merasa tidak ada masalah berada di lingkungan yang berserakan kotak-kotak makanan dan gelas-gelas plastik bekas minuman sambil membahas pembicaraan tingkat tinggi, seperti tentang mazhab, orang-orang suci, teknologi, atau politik. Aku kagum pada mereka, karena aku harus menahan amarah untuk tidak berteriak seperti Tarzan bahwa sampah berserakan di mana-mana. Ada lagi yang membuat aku tertegun. Saat ada orang yang dengan sengaja memungut sampah-sampah yang mereka hasilkan, mereka melihat orang-orang tersebut dengan tatapan aneh. Sepertinya mereka itu mahluk planet Mars yang baru mendarat di bumi. Ada juga yang tak mau repot-repot peduli untuk menoleh. Yang lain malah lebih ajaib, mereka malah memberikan komentar yang tak perlu seperti, “Wah, kalian sudah ganti profesi ya.” Atau “Wah, kalian anggota kelompok green peace ya.” Hello????????? What’s wrong with you guys?

My dear friends, I am speechless when it comes to garbage. Aku sempat berpikir, dari semua ibadah, menjaga kebersihan seperti membuang sampah pada tempatnya adalah hal tersulit. Karena kalau dibandingkan dengan pergi haji, shalat lima waktu, puasa, membuang sampah pada tempatnya yang paling minim dikerjakan. Aku rasa yang membuang sampah sembarang di gedung pertemuan itu mengerjakan shalat, puasa atau malah pergi haji.

Ya, mungkin yang bisa aku lakukan sekarang adalah agar aku dan orang-orang terdekatku tidak ikut-ikutan membuang sampah sembarangan. Mungkin aku masih bisa berharap pada bayi-bayi itu. Mudah-mudahan mereka tidak akan membuang sampah sembarangan seperti orang-orang dewasa itu. Itu pun kalau orang dewasa di sekitarnya sudah mulai memperkenalkan cara membuang sampah yang benar sejak dini. Kalau tidak...aku...aku...well, you can imagine it by yourself. Mungkin nanti kita harus hidup seperti pemulung, harus rela hidup di antara sampah-sampah. And by the time it comes we can’t complain because we who cause it to happen.

I don’t want to be pessimistic because I know it’s not allowed. There’s always hope (hopefully).

P.s.Kayaknya aku keseringan nulis tentang sampah.Hmm, aku harus cari tema yang lain biar tidak punya tekanan darah tinggi.


Comments

Popular posts from this blog

프라이팬 놀이/Frying Pan Game/BTS

Playing Frying Pan Game/BTS We played a new game called Frying pan game (프라이팬 놀이) with our Korean guests in our Korean Class. It was fun. It’s like catching the mouse game. We learn the Korean numbers in the same time.  Say, if your friend mentions your name and the number, you have to mention your name according to the number he/she mentions previously.  For example, if your friend says "Dana dul (2)", so you have to say your name twice, "Dana...Dana" and so on and so on. If you make a mistake, well, you get the punishment. The type of the punishment depends on the agreement of the players. They are many types, trust me. Just choose one.  This game was played on one of the TV programs in Korea hosted by Kang Ho Dong (강 호 동), Hye Ryong said. 재미 있네요. 우리 애들이 놀이를 좋아해요.  But hey! BTS too played this game on one of their TV shows.  You can check out the video  here  So far, we have learned many Korean games. Mostly we got from Korean T

Bungeoppang a.k.a Taiyaki

Bungeoppang a.k.a Taiyaki “ What did Archimedes say? “Eureka”. I would like to borrow his word for my little success although I didn’t invent anything. ”     Aku udah bingung banget cari resep Bungeoppang , kue isi pasta kacang merah berbentuk ikan. Coba beberapa resep tetep tak sukses. Lalu aku tengok resep sodara tuanya Bungeoppang , Taiyaki . Ceritanya dulu orang Jepang yang memperkenalkan Taiyaki ke Korea saat jaman pendudukan mereka dulu. Nah, kalo orang Korea bilang Bungeoppang itu sama a ja  dengan Taiyaki . Untuk sejarah   Taiyaki dan Bungeoppang bisa dicari di Wikipedia . Infonya lengkap.   Back to my story Nah, setelah tidak berhasil dengan resep sebelumnya (kegagalan dijamin ada dipihak pembuat kuenya bukan di pembuat resep ^^;) aku kemarin iseng dan penasaran cari resep Bungeoppang dalam bahasa Korea tapi ga dapet. Ada sih satu tapi ga detail dan aku ga ngerti. Trus aku cari resep sodara tuanya aja, Taiyaki. I am lucky. Aku dapet beberapa resep Taiyaki. S

Dora The Explorer Dan Oreo Termahal

Dora the Explorer Dan Oreo Termahal Badan pegal – pegal karena terpenjara selama lebih dari lima jam. Ditambah lagi harus berhimpitan di kerumunan manusia saat festival. Begitu masuk ke dalam  subway , yang pertama kali ingin kulakukan adalah tidur. Ah leganya ketika kulihat ada kursi kosong yang bisa kududuki. Enaknya bisa selonjoran untuk mehilangkan rasa pegal di kaki. Rupanya ketika aku tertidur, muridku iseng mengambil foto diriku yang sedang tertidur. Refleks aku terbangun. Begitu tersadar, tiba – tiba muncul seorang anak kecil bersama ibunya. Mereka berdiri tepat di hadapanku. Harusnya aku beri kursi itu pada mereka tapi ada sedikit kebingungan soal memberi tempat duduk di Korea atau di Jepang. Terkadang para orang tua menolak tawaran tersebut. Terlebih lagi jika kita menawarkan kursi itu pada orang yang masih muda. Salah satu alasan yang kutahu adalah mereka tak ingin terlihat seperti orang tua. Maka, tak heran jika beberapa orang tua pun terkadang menolak diberi kurs