Skip to main content

The Day When My Beloved Dad Passed Away

The Day When My Beloved Dad Passed Away


Hari itu rasanya seperti mimpi. Aku ingin seseorang membangunkanku. Lama kutunggu tapi apa yang ada dihadapanku tak jua menghilang. Tak ada seorangpun yang membangunkanku. What’s this? Where are the people? Don’t they hear me screaming? Tak ada guna aku terus berteria. Yang ada dihadapanku adalah kenyataan. I wasn’t having a bad dream. Aku tahu apa yang sedang terjadi. Tapi aku masih terus berusaha untuk lari dari kenyataan. Dia masih ada. Dia hanya perlu dibawa ke dokter. Will someone get a help? Pertolongan itu berdatangan tapi Dia tak bisa lagi ditolong.
Kini kulihat Dia diam seribu bahasa. Aku terus memegangi tangannya tanpa tahu apalagi yang harus aku lakukan. Kulihat wajah-wajah di sekitarku. Mereka meneteskan air matanya. Adik-adiku satu per satu mulai menangis. Aku masih belum percaya. Aku masih yakin mungkin Dia hanya terkena serangan stroke saja. Terus kucari denyut nadinya. Aku tahu aku sudah tidak bisa merasakan denyut nadinya tapi aku terus mencarinya. Aku masih terus berharap. Sampai akhirnya saudaraku meyakinkanku bahwa Dia telah benar-benar tidak ada. Mulailah air mataku menetes dengan derasnya.
Ibu, dengan sigap menyuruh kami untuk tegar dan tidak terus larut dalam kesedihan. Mungkin karena ketegarannya, kesedihan itu tidak terasa memilukan saat itu. Aku bisa mengabari semua orang yang aku hafal dan ingat waktu itu. Aku bisa berbicara dengan lancar tanpa tersekat air mata. Hari itu pukul dua pagi saat Ayahku tercinta akhirnya meninggalkan jasadnya. Orang-orang mulai berdatangan. Suara tangis mulai membahana di dalam rumah. Keponakan-keponakan Ayah, tetangga, paman, bibi, teman-teman semua berdatangan bersamaan dengan datangnya pagi.
Aku masih bisa bercanda dengan mereka. Masih ada senyum yang tersisa yang bisa aku berikan pada para tamu. Kami semua terlihat tegar hari itu. Tetapi itu tak bertahan lama. Begitu mobil mulai berangkat menuju tempat Ayah akan dibaringkan, tangiskupun mulai pecah lagi. Sekarang aku tak ingin menahannya. Aku ingin menangis. Aku ingin membiarkan semua perasaan kecewa, sedih, marah, dan sakit keluar dari tubuhku. Aku memohon agar aku dibiarkan menangis untuk saat itu agar kelak aku tidak menyesal.
Bertemu banyak saudara di tempat Ayahku akan dikuburkan, membuat tangis itu pecah lagi. Ketika kulihat Dia akhirnya dibaringkan di liang lahat, aku yakin memang Dia sudah hidup di alam yang berbeda. Air mataku kembali mengalir. Ibu memegangi kepalaku. Adik-adiku memegangi tubuhku. Dia tak bersama tubuhnya lagi.
Hari Rabu itu aku menyajaknya untuk pergi menghadiri acara talkshow “40 Days in Europe” yang aku prakarsai. Aku tahu Dia suka buku itu. Anehnya hari itu, aku tak begitu ngotot mengajaknya. Mungkin karena sebelumnya kesehatannya kurang baik. Apalagi kata Ibu, Ayah akan ikut Bantu-bantu di mesjid. Hari itu aku hanya mengatakan pada narasumberku, Kang Maul, bahwa Ayah ingin sekali hadir tapi kesehatannya sedang tidak baik. Ternyata Dia tak bisa bertemu dengan Kang Maul selamanya. Aku sangat menyesal kenapa tidak memaksa ibu membiarkan aku membawanya ke sekolah.
Hari itu Dia tampak wajar. Sempat Dia mengobrol dan bercanda dengan saudaraku yang datang berkunjung. Hari itu Dia sempat minta dibelikan tempe. Ibu memang tak menyuruhku, tapi seharusnya aku pergi. Hari itu Dia minta aku memeriksa tubuhnya. Satu hal yang tak pernah Dia minta. Biasanya ide itu selalu datang dari Ibu. Jam 10 malam itu ibu membangunkanku untuk meminta uang untuk ke dokter. Aku hanya menunjukan tempat aku menyimpan dompet tanpa bangun dari tempat tidur. Jam 12 malam itu, ibu membangunkanku lagi. Dia meminta aku memeriksa Ayahku lagi. Aku tidak segera beranjak ke kamar. Sebentar aku duduk lalu barulah aku pergi ke kamarnya. Aku memijit punggungnya. Kutanyakan apa yang Dia rasakan. Dia bilang dadanya sakit. Dia ingin aku memijit dadanya. Kukatakan itu tidak mungkin. Mungkin seharusnya aku menyentuh dadanya. Mungkin Dia ingin aku merasakan sesuatu. Tapi aku malah menyuruhnya untuk berdoa dengan dilafadzkan. Kukatakan adiku juga selalu begitu kalau dia merasa sakit. Dan perlahan nanti bisa tertidur. Ayah menuruti perintahku. Dia minta ibu menyelimuti tubuhnya dan mengipasi badannya. Akupun beranjak dari kamar Ayah dan pergi tidur lagi.
Dan jam dua pagi itu kudengar teriak kesakitan dan ucapan permintaan maafnya pada kami. Sesuatu yang biasa aku dengar kalau Dia sedang sakit. Aku terbangun dan beranjak dari tempat tidurku sambil berkata, “Ya Allah, ada apalagi sekarang?” Saat aku masuk ke kamar itu, Dia sedang meregang nyawa. Ibu berusaha membangunkannya. Aku terus mencari nadinya. Sampai kulihat Dia menarik nafas dua kali dan matanya tertutup. Wajahnya pucat, tubuhnya perlahan terasa dingin.Air yang diberikan tak bisa ditelannya. Denyut jantung terakhir yang aku rasakan menghilang. Tak sempat kukatakan Innalillahi wa innalilahi roji’un. Aku masih termanggu dalam kebingungan. Ada amarah dan penyesalan yang begitu besar. Tak ada dari kami anak-anaknya yang sempat berbicara padanya. Tak ada yang sempat untuk meminta maafnya. Dia telah pergi sebelum kami sempat berkata-kata.
Karena kata itu tak sempat terucap, aku kadang-kadang masih terus berharap Dia ada di rumah menungguku pulang. Setiap kulihat orang-orang yang lebih tua darinya, air mataku mengalir. Rasa sedih menggelora di dada. Setiap kulihat temannya yang setiap subuh dan magrib pergi bersamanya ke mesjid, hatiku terasa sakit. Jujur saja, aku masih kadang mengatakan mengapa harus Dia, ayahku. Begitu egoisnya aku. Selama ini kutahu Ayah sering menderita di kala musim hujan datang. Batuknya sangat begitu menyiksanya. Teganya aku memintanya untuk terus bertahan demi aku. Begitu egoisnya cintaku itu. Memang, aku memang egois karena aku masih banyak berhutang padanya.
Selama aku hidup bersamanya, mungkin hanya sebentar saja aku merasa bahagia bersamanya. Aku pernah sangat membencinya. Aku pernah menjadikan Dia musuh terbesarku. Aku pernah menyakiti hatinya dengan tak menganggapnya Ayah yang baik. Walaupun akhirnya kami benar-benar berdamai tapi aku merasa sudah terlalu terlambat. Sehingga waktu yang kupunya dengannya sangatlah sedikit. Baru beberapa tahun saja kami bisa berbicara dari hati kehati, baru bisa bercanda, baru bisa senang melihatnya, baru bisa tertawa bersamanya. Mengapa harus Dia? Kata-kata itu masih ada.
Di akhir kedekatan kami, buku menjadi alat yang mempererat ikatanku dengan Ayah. Kulihat Dia sering membaca buku di waktu sengangganya. Kakaku kadang meminjam buku-buku atau majalah dari sepupuku. Semua habis dibacanya. Ketika itu aku mulai melirik novel-novel Indonesia. Buku Andrea Hiratalah yang pertama kuperkenalkan padanya untuk dibaca. Dia menikmatinya. Kulihat Dia menangis saat membaca buku Sang Pemimpi. Kami tertawa melihatnya. Kulihat Dia menutup bukunya karena tak kuat menahan air mata. Kulihat dia tertawa membaca kelakuan Arai. Semenjak itu dia lengket dengan buku-buku Andrea Hirata. Aku sempat membawanya untuk bertemu Andrea di acara talkshow yang diadakan di sekolahku. Ayahku begitu antusias. Dengan seksama dia mengikuti acara itu. Dia peserta tertua yang hadir. Senangnya dia waktu bisa berbicara dengan Andrea. Kuajak Ayah bersalaman dengan Andrea kemudian kami berfoto bersama. Saat pulang ternyata Ayah masih memiliki banyak kata yang ingin dibicarakan dengan Andrea. “Ayah bingung waktu di sana harus ngomong apa?” ujarnya padaku waktu aku tanya kesan-kesannya.
Setelah itu setiap buku yang kubeli atau kupinjam pasti dibacanya. Buku terakhir yang belum selesai beliau tamatkan adalah The Girls of Riyadh. “Pa, gimana bukunya?” Dia menjawab dengan muka berbinar, “Rame bukunya.” Walaupun dia tak bisa membaca banyak-banyak dikarenakan matanya, dia tak pernah tidak menamatkan buku yang Dia baca. Tapi untuk buku yang terakhir, Dia tak menamatkannya. Aku masih menyimpan pembatas buku itu. Dia juga tak sempat membaca buku ke-4 milik Andrea. Padahal Dia ingin tahu kisah kasih Arai dengan Nurmala dan Ikal dengan Alingnya. Aku ingin membacakan buku itu padanya.
Ayah, aku rindu. Aku tahu kau melihatku bercucuran air mata ketika mengetik tulisan ini. Aku rindu melihatmu duduk di depan rumah sambil membaca buku. Aku rindu melihatmu mengurus tanaman di depan rumah. Aku rindu kecemasanmu tentang ayam-ayam peliharaanmu, aku rindu memberitahukanmu buku yang bagus untuk kau baca selanjutnya, aku rindu mengucapkan salam padamu sebelum aku pergi ke luar rumah, aku rindu kecemasanmu ketika aku pulang larut, aku rindu kecemasanmu melihatku sakit, aku rindu bercanda lagi denganmu, aku rindu tidur di pangkuanmu, aku merindukan suaramu tiap Subuh di mesjid ketika kau memanggil umat untuk shalat, aku merindukan kepergianmu ke mesjid tiap Magrib dan yang paling pasti aku akan sangat merindukan ucapan dan cucuran air matamu saat kau melepasku untuk menikah seperti ketika kau menghadiri kelulusanku dan mendapatkan peringkat Cum Laude di hari wisudaku. Aku benar-benar rindu padamu Ayah………………………..
Innalillahi wa innailahi raaji’un. Allahumagfirlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu

Comments

Popular posts from this blog

프라이팬 놀이/Frying Pan Game/BTS

Playing Frying Pan Game/BTS We played a new game called Frying pan game (프라이팬 놀이) with our Korean guests in our Korean Class. It was fun. It’s like catching the mouse game. We learn the Korean numbers in the same time.  Say, if your friend mentions your name and the number, you have to mention your name according to the number he/she mentions previously.  For example, if your friend says "Dana dul (2)", so you have to say your name twice, "Dana...Dana" and so on and so on. If you make a mistake, well, you get the punishment. The type of the punishment depends on the agreement of the players. They are many types, trust me. Just choose one.  This game was played on one of the TV programs in Korea hosted by Kang Ho Dong (강 호 동), Hye Ryong said. 재미 있네요. 우리 애들이 놀이를 좋아해요.  But hey! BTS too played this game on one of their TV shows.  You can check out the video  here  So far, we have learned many Korean games. Mostly we got from Korean T

Bungeoppang a.k.a Taiyaki

Bungeoppang a.k.a Taiyaki “ What did Archimedes say? “Eureka”. I would like to borrow his word for my little success although I didn’t invent anything. ”     Aku udah bingung banget cari resep Bungeoppang , kue isi pasta kacang merah berbentuk ikan. Coba beberapa resep tetep tak sukses. Lalu aku tengok resep sodara tuanya Bungeoppang , Taiyaki . Ceritanya dulu orang Jepang yang memperkenalkan Taiyaki ke Korea saat jaman pendudukan mereka dulu. Nah, kalo orang Korea bilang Bungeoppang itu sama a ja  dengan Taiyaki . Untuk sejarah   Taiyaki dan Bungeoppang bisa dicari di Wikipedia . Infonya lengkap.   Back to my story Nah, setelah tidak berhasil dengan resep sebelumnya (kegagalan dijamin ada dipihak pembuat kuenya bukan di pembuat resep ^^;) aku kemarin iseng dan penasaran cari resep Bungeoppang dalam bahasa Korea tapi ga dapet. Ada sih satu tapi ga detail dan aku ga ngerti. Trus aku cari resep sodara tuanya aja, Taiyaki. I am lucky. Aku dapet beberapa resep Taiyaki. S

Dora The Explorer Dan Oreo Termahal

Dora the Explorer Dan Oreo Termahal Badan pegal – pegal karena terpenjara selama lebih dari lima jam. Ditambah lagi harus berhimpitan di kerumunan manusia saat festival. Begitu masuk ke dalam  subway , yang pertama kali ingin kulakukan adalah tidur. Ah leganya ketika kulihat ada kursi kosong yang bisa kududuki. Enaknya bisa selonjoran untuk mehilangkan rasa pegal di kaki. Rupanya ketika aku tertidur, muridku iseng mengambil foto diriku yang sedang tertidur. Refleks aku terbangun. Begitu tersadar, tiba – tiba muncul seorang anak kecil bersama ibunya. Mereka berdiri tepat di hadapanku. Harusnya aku beri kursi itu pada mereka tapi ada sedikit kebingungan soal memberi tempat duduk di Korea atau di Jepang. Terkadang para orang tua menolak tawaran tersebut. Terlebih lagi jika kita menawarkan kursi itu pada orang yang masih muda. Salah satu alasan yang kutahu adalah mereka tak ingin terlihat seperti orang tua. Maka, tak heran jika beberapa orang tua pun terkadang menolak diberi kurs