Go With the Flow
Hari Senin adalah jadwalku bertemu the future dentist, Pyo. Ternyata cuma cek hasil tambalan 2 minggu kemarin. Begitu dosennya bilang ya, weis slese juga pekerjaannya. Tapi aku meminta ditambalkan gigiku yang ngilu itu. Waktu yang dibutuhkan tak begitu banyak, pukul setengah 11 sudah bisa pulang.
Sebenarnya aku meminta tolong supaya Pyo mau menerjemahkan teks pidato bahasa korea untuk muridku tapi dia bilang dia sibuk banget. Teringatlah aku dengan Hyesun yang hari itu sedang mengajar di Jatinangor.
Setelah menghubungi adiku dan dia menyuruhku untuk coba datang aku langsung pergi menuju halte bis Dipatiukur Jatinagor dengan jalan kaki santai. Aku tidak berharap bisa langsung ketemu bis. Nunggupun ga apa-apa.
Tak taunya bis itu malah sudah on the way ke Jatinangor. Tapi si kondektur berhenti ketika melihat dua wanita caucasian yang kayaknya mau ke arah Jatinangor juga. Aku melambaikan tanganku saat si kondektur melihat ke arahku. Dan berlarilah aku mengejar bis kota. (jadi ingat Ahmad Albar)
Seperti yang kuinginkan bis itu bukan bis AC (hates AC). Aku pikir bis itu akan langsung berbelok ke Cicadas, ternyata itu bis yang lewat tol. Hmmm...it's going to be a long journey.
Di dalam bis aku dihibur dua pengamen. Pengamen yang ke dua bisa membuatku berhenti membaca novel dan hanya menikmati lagu yang mereka sajikan. Biasanya aku ga pernah begitu menyimak lagu itu saat dinyanyikan penyanyi aslinya. Tapi hari itu suara pengamen, lagu dan hamparan sawah tampak serasi menyatu menjadi bagian dari jalan-jalanku.
Dalam hati aku sudah berharap supaya hamparan sawah itu tak diganggu gugat oleh para developer. Hate to see too many houses and so less green views. Eh, kejadian juga aku mengumpat para developer yang dengan asyiknya membabat sawah untuk dijadikan jalan. .
Bis berhenti di dekat Unwim. Sebelumnya aku tak pernah melalui jalan itu. Aku sempet bingung harus jalan ke mana. Tapi saat kulihat penunjuk arah menuju Unpad, aku langsung mengikutinya. Ah, ada pemandangan menakjubkan bagiku. Begitu bis berhenti, pasukan ojeg langsung menyerbu bis seperti lebah. (aku bilang aku belum pernah melewati daerah itu)
Ternyata di depanku terdapat 2 jalan masuk. Bingung lagi nih. Kuambil jalan sebelah kiri tapi yang terlihat orang yang berbalik arah. Saat kulihat beberapa mahasiswa jalan di sebelah kanan, aku mengikuti mereka. Lalu kulihat angkot dengan tulisan gratis. Inginnya naik tapi aku ragu-ragu apakah angkot itu lewat sastra. Jadi, kuteruskan saja jalan kaki melewati tanjakan cinta di siang bolong.
Sampe di kampus, aku melihat dosenku, Pak Rudi Wilson (you can curse or say anything you like). I wanted to say hi to him but I was too chicken out. Hmmm...yang kutakutkan adalah saat dia menanyakan pertanyaan yang sama seperti waktu aku menjadi mahasiswanya, "kamu siapa? mahasiswa baru ya?" Ya ampun, aku satu semester dengannya dia tak mengenaliku. Itu karena salah aku sendiri sih yang takut berhadapan dengan dia gara-gara misleading info dari para senior. "Dia itu dosen killer! Dia itu galak1" dan aku termakan info mereka. Hasilnya aku takdikenalinya. Tapi begitu semester dua aku beranikan diri untuk berhadapan dengannya malah sampe berani berdebat. Akibatnya, dia ga ketinggalan selalu memanggil diriku. I couldn't hide from him. He even surprised me with a flying color grade. Sedihnya saat dia menanyakanku di kelas ekstensi. Mia memberitahukannya padaku. Gosh, he still remembered me.
Tapi bodohnya aku, hari itu aku terlalu pengecut untuk menyapanya. Yes, you may condemn me as you like. I'll take it, I realized I was so stupid. Tapi aku berharap minggu depan aku bisa bertemu dengannya lagi. Minggu depan aku akan mulai kelas korea bersama Hyesun.
It's such a long journey, my destination nowhere. I love it. I felt the vibe of the old days when I saw some of my lecturers. Guys, where are you now.
Hari Senin adalah jadwalku bertemu the future dentist, Pyo. Ternyata cuma cek hasil tambalan 2 minggu kemarin. Begitu dosennya bilang ya, weis slese juga pekerjaannya. Tapi aku meminta ditambalkan gigiku yang ngilu itu. Waktu yang dibutuhkan tak begitu banyak, pukul setengah 11 sudah bisa pulang.
Sebenarnya aku meminta tolong supaya Pyo mau menerjemahkan teks pidato bahasa korea untuk muridku tapi dia bilang dia sibuk banget. Teringatlah aku dengan Hyesun yang hari itu sedang mengajar di Jatinangor.
Setelah menghubungi adiku dan dia menyuruhku untuk coba datang aku langsung pergi menuju halte bis Dipatiukur Jatinagor dengan jalan kaki santai. Aku tidak berharap bisa langsung ketemu bis. Nunggupun ga apa-apa.
Tak taunya bis itu malah sudah on the way ke Jatinangor. Tapi si kondektur berhenti ketika melihat dua wanita caucasian yang kayaknya mau ke arah Jatinangor juga. Aku melambaikan tanganku saat si kondektur melihat ke arahku. Dan berlarilah aku mengejar bis kota. (jadi ingat Ahmad Albar)
Seperti yang kuinginkan bis itu bukan bis AC (hates AC). Aku pikir bis itu akan langsung berbelok ke Cicadas, ternyata itu bis yang lewat tol. Hmmm...it's going to be a long journey.
Di dalam bis aku dihibur dua pengamen. Pengamen yang ke dua bisa membuatku berhenti membaca novel dan hanya menikmati lagu yang mereka sajikan. Biasanya aku ga pernah begitu menyimak lagu itu saat dinyanyikan penyanyi aslinya. Tapi hari itu suara pengamen, lagu dan hamparan sawah tampak serasi menyatu menjadi bagian dari jalan-jalanku.
Dalam hati aku sudah berharap supaya hamparan sawah itu tak diganggu gugat oleh para developer. Hate to see too many houses and so less green views. Eh, kejadian juga aku mengumpat para developer yang dengan asyiknya membabat sawah untuk dijadikan jalan. .
Bis berhenti di dekat Unwim. Sebelumnya aku tak pernah melalui jalan itu. Aku sempet bingung harus jalan ke mana. Tapi saat kulihat penunjuk arah menuju Unpad, aku langsung mengikutinya. Ah, ada pemandangan menakjubkan bagiku. Begitu bis berhenti, pasukan ojeg langsung menyerbu bis seperti lebah. (aku bilang aku belum pernah melewati daerah itu)
Ternyata di depanku terdapat 2 jalan masuk. Bingung lagi nih. Kuambil jalan sebelah kiri tapi yang terlihat orang yang berbalik arah. Saat kulihat beberapa mahasiswa jalan di sebelah kanan, aku mengikuti mereka. Lalu kulihat angkot dengan tulisan gratis. Inginnya naik tapi aku ragu-ragu apakah angkot itu lewat sastra. Jadi, kuteruskan saja jalan kaki melewati tanjakan cinta di siang bolong.
Sampe di kampus, aku melihat dosenku, Pak Rudi Wilson (you can curse or say anything you like). I wanted to say hi to him but I was too chicken out. Hmmm...yang kutakutkan adalah saat dia menanyakan pertanyaan yang sama seperti waktu aku menjadi mahasiswanya, "kamu siapa? mahasiswa baru ya?" Ya ampun, aku satu semester dengannya dia tak mengenaliku. Itu karena salah aku sendiri sih yang takut berhadapan dengan dia gara-gara misleading info dari para senior. "Dia itu dosen killer! Dia itu galak1" dan aku termakan info mereka. Hasilnya aku takdikenalinya. Tapi begitu semester dua aku beranikan diri untuk berhadapan dengannya malah sampe berani berdebat. Akibatnya, dia ga ketinggalan selalu memanggil diriku. I couldn't hide from him. He even surprised me with a flying color grade. Sedihnya saat dia menanyakanku di kelas ekstensi. Mia memberitahukannya padaku. Gosh, he still remembered me.
Tapi bodohnya aku, hari itu aku terlalu pengecut untuk menyapanya. Yes, you may condemn me as you like. I'll take it, I realized I was so stupid. Tapi aku berharap minggu depan aku bisa bertemu dengannya lagi. Minggu depan aku akan mulai kelas korea bersama Hyesun.
It's such a long journey, my destination nowhere. I love it. I felt the vibe of the old days when I saw some of my lecturers. Guys, where are you now.
Comments