Dora the
Explorer Dan Oreo Termahal
Badan pegal – pegal karena
terpenjara selama lebih dari lima jam. Ditambah lagi harus berhimpitan di
kerumunan manusia saat festival. Begitu masuk ke dalam subway, yang
pertama kali ingin kulakukan adalah tidur. Ah leganya ketika kulihat ada kursi
kosong yang bisa kududuki. Enaknya bisa selonjoran untuk mehilangkan rasa pegal
di kaki.
Rupanya ketika aku tertidur, muridku iseng mengambil foto diriku
yang sedang tertidur. Refleks aku terbangun. Begitu tersadar, tiba – tiba
muncul seorang anak kecil bersama ibunya. Mereka berdiri tepat di hadapanku.
Harusnya aku beri kursi itu pada mereka tapi ada sedikit kebingungan soal
memberi tempat duduk di Korea atau di Jepang. Terkadang para orang tua menolak
tawaran tersebut. Terlebih lagi jika kita menawarkan kursi itu pada orang yang
masih muda. Salah satu alasan yang kutahu adalah mereka tak ingin terlihat
seperti orang tua. Maka, tak heran jika beberapa orang tua pun terkadang
menolak diberi kursi jika mereka masih mampu berdiri.
"Dari negara
mana?"
Ok, kembali ke anak perempuan
yang berambut ala Dora The Explorer. Tatapan matanya menyimpan sejuta
pertanyaan. Jika saja aku punya tatapan X-raynya Superman,
aku bisa melihat otaknya yang dipenuhi dengan tanda tanya. Pandangannya tajam,
menyisirku dari atas ke bawah seperti sebuah scanner. Kalau dulu
saat datang ke Korea tahun 2010, anak – anak kecil yang menatapku dengan
pandangan penasaran biasanya penasaran dengan kerudungku. Apa anak ini
penasaran dengan hal yang sama? Kebetulan yang memakai kerudung hari itu
banyak. Murid-muridku yang kebanyakan perempuan juga berkerudung. Jika dulu
anak – anak itu biasanya hanya menatap, menunjuk lalu bertanya pada orang
tuanya. Anak yang ini berbeda. Dia dengan keberaniannya bertanya langsung
padaku.
“Dari negara
mana?”
Hmm... pemberani juga ini anak. Dia tak meminta tolong pada ibunya
untuk bertanya padaku.
Selama berkunjung ke Seoul, aku jarang ditanya remaja atau orang
dewasa, apalagi anak kecil. Baru kali ini aku dapat kesempatan disapa bocah. Para
remaja atau orang dewasa biasanya sibuk dengan gadget, baca buku
atau tidur. Tapi bukan berarti mereka sombong. Kalau kamu tanya mereka akan
jawab tapi .... jika kamu pakai bahasa Korea. Ya kasusnya tak beda jauh seperti
di kita, karena takut salah atau tidak bicara bahasa Inggris. Eits, tapi jangan
salah, kadang kamu juga bisa disapa dalam bahasa Indonesia. Bukan rahasia lagi
kalau orang Korea juga banyak berkunjung ke Indonesia. Malah ada yang sampai
bekerja dan menetap di negeri kita.
“ Aku dari Indonesia.” Sambil tersenyum kujawab pertanyaannya.
“Itu apa yang menutupi kepalamu?”
Enk ink enk, investigasi dimulai.
“Ini jilbab.” Aku tidak mengatakan kerudung karena terlalu panjang
untuk diucapkan oleh anak itu.
“Apa orang Indonesia semua memakai itu?”
“Tidak. Hanya orang Islam saja.” Aku lupa menambahkan hanya orang
Islam yang memilih untuk berkerudung saja.
Dulu saat aku ditanya tentang hal ini oleh orang dewasa,
pertanyaan ini jadi beranak – pinak dan bercabang. Biasanya pertanyaan
selanjutnya, Mengapa temanmu tidak berkerudung? Atau teman saya juga
Muslim tapi mengapa dia tidak berkerudung? Kepada orang dewasa saya
akan menerangkan bahwa berkerudung itu pilihan individu karena kita diberikan
kebebasan oleh Tuhan untuk memilih. Tapi jawaban ini pun bukan tanpa resiko.
Bisa-bisa mereka salah paham. Nah, sekarang masalahnya yang kuhadapi adalah
anak SD. Bagaimana jika ada tetangganya yang beragama Islam atau ada kenalannya
yang beragama Islam dan tak berkerudung? Nanti kalau aku jawab itu pilihan, dia
akan bertanya lagi ada berapa pilihan? Wuaaaah, bakal panjang ini.
“Kenapa warnanya seperti itu?” Phew! Untung dia tak
menanyakan hal yang kukhawatirkan. Atau aku terlalu lebay berprasangka seperti
itu. Sebenarnya yang menjadi kekhawatiran utamaku adalah harus menjelaskan
dalam bahasa Korea. Ribet! Aku belum semahir itu untuk berdebat dalam bahasa
Korea.
“Ini disesuaikan dengan warna ini." Aku menunjuk hem kaosku.
"Lihat, warnanya merah, kan?”
Matanya sekarang menyisir murid perempuanku yang berdiri di
sampingku. Sekarang apalagi pertanyaannya.
“Mengapa dia warnanya berbeda. Itu bukan merah.”
Mantap ini anak! Jeli sekali matanya. Kebetulan dari delapan murid
perempuan yang berada di dalam subway, hanya satu orang yang warna
kerudungnya cocok dengan warna hem lengan. Selebihnya warna kerudung mereka
agak keungu-unguan atau coklat mungking. Aku pun tak tahu pasti nama warna
kerudung yang mereka pakai.
“Hehehe...mereka salah, ya? Sepertinya hanya aku yang warna
kerudungnya benar.” Jawabku sambil tertawa kecil.
Apakah interograsi ini sudah selesai? Tapi dia masih memelototiku.
Tampaknya simbol tanda tanya di otaknya masih banyak.
“Cantik.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Oh, terima kasih.” Baru kali ke dua anak kecil mengatakan hal
yang sama saat melihatku memakai kerudung.
“Itu apa?” Sekarang matanya dia arahkan pada dua seruling yang
kupeluk.
“Ini seruling.”
“Seperti piri. Aku juga belajar meniup seruling di sekolah.”
“Oh, begitu. Ini seruling Sunda. Di Indonesia banyak jenis
seruling. Kita memiliki banyak suku.”
Mulailah aku memberinya pelajaran geografi Indonesia padanya dalam
sekilas. Dia menyimak dengan baik. Oh, aku lupa menceritakan ibu si anak
ini. Ibunya sedari tadi sudah minta maaf padaku karena anaknya banyak bertanya.
Maklum katanya dia masih kanak-kanak.
“Aku dan murid-muridku baru saja main di acara “International
Youth Walk for World Peace and Restoration” di Seoul Olympic Park.
Kami main angklung.”
“Apa itu angklung?”
“Oh, angklung itu alat musik tradisional Sunda yang terbuat dari
bambu.”
Sayangnya ketika menjelaskan aku tak bisa memperlihatkan angklung
padanya. Semua angklung sudah dibawa mobil barang menuju hostel. Tapi masih
untung. Orang Indonesia mah banyak untungnya ha..ha..ha...
Untungnya ada gambar angklung di kaos kami.
“Ini angklung.” Kusodorkan gambar angklung yang terdapat di bagian
bawah kaos.
“Ah, itu .... .”
Dia berhenti saat hendak mengucapkan kata angklung. Suara “kl” di
tengah – tengah itu sulit diucapkan oleh mereka. Biasanya harus ditambahkan
huruf vokal di antaranya. Maka bunyi angklung jadi angkeulung. Kebetulan
lagi kaos yang dipakai tim angklung menuliskan kata angklung dalam huruf Korea.
Kusingkapkan sedikit jilbab yang menjuntai itu agar dia bisa membaca tulisan
Hangul yang tertera di kaos.
“Ah, angkeulung!” Sorot mata tajamnya kini berubah
berbinar – binar seperti jutaan kunang - kunang. Dia pun tersenyum.
“Ini terbuat dari bambu.”
“Ah, daenamu. Mereka menyebut bambu dengan kata daenamu.”
Ibu dan anak ini mengatakan ada alat musik yang mirip dengan
angklung di Korea. Aku kurang yakin karena aku tak pernah melihat ada alat
musik yang mirip dengan angklung di sini. Mungkin kemiripannya di bambunya.
“Apa ditiup juga seperti seruling?”
“Tidak. Kau harus menggoyangkannya. Nanti akan keluar suaranya.”
Dia kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku tahu banyak tentang Indonesia.”
“Bagaimana kau tahu tentang Indonesia?” tanya ibunya kebingungan.
“Tadi dia sudah menjelaskannya padaku.” Aku tertawa. Pintar juga
kau, nak. “Teman-temanku tak tahu tentang Indonesia tapi aku tahu.” Dia berkata
dengan wajah yang dihiasi senyuman bangga. Agaknya anak ini bangga karena sudah
berada selangkah di depan teman – temannya.
Sejurus kemudian kulihat dia beralih kearah tas yang menggantung
di bahunya. Dia tampak sibuk mencari – cari sesuatu di dalamnya. Tanganya
memegang sesuatu. Dikeluarkannya benda kecil itu dari dalam tasnya.
"Dia memberiku Oreo"
“Ini untukmu.”
Aku terkejut. Dia memberikan sebuah Oreo kecil
padaku. Seumur – umur di Korea baru kali ini ada anak kecil yang memberiku
makanan. Biasanya yang sering memberikan barang – barang atau makanan itu orang
dewasa.
“Untukku?” Dia mengangguk. “Wah, terima kasih.”
Aku masih syok dengan tingkah anak ini. Oh! aku tak membawa pin
angklung. Apa yang bisa kuberikan pada anak ini. Teringat seruling yang kubawa
yang kebetulan masih ada dua. Tanpa pikir panjang kuberikan salah satu seruling
itu padanya. Toh kami sudah tidak ada jadwal pertunjukan lagi dan masih ada
satu seruling lagi milik Reyhan, muridku, jika tiba-tiba ada kesempatan tampil
lagi. Dari raut wajahnya kulihat ekspresi terkejut. Sama seperti ketika aku
menerima Oreo darinya.
“Untuk aku?”
“Ya, itu untukmu. Kau sudah memberiku Oreo. Jadi
seruling ini kuberikan padamu.”
Air mukanya berubah senang. Dengan bangga dia perlihatkan seruling
itu pada ibunya.
“Kau bisa belajar dari Youtube. Apa kau punya kertas
dan pinsil?” Segera tangan kecilnya sibuk mencari – cari barang yang kuminta.
Kutuliskan kata kunci untuk mencari video permainan seruling dalam huruf latin
dan hangul. “Kau bisa mencarinya di Youtube dengan mengetikan
ini.” Dia mengangguk – angguk paham.
“Kau harus belajar memainkannya dengan rajin.” Ujar ibunya.
“Ya, aku akan belajar.” Ujarnya sambil tersenyum padaku dan
ibunya.
Tak terasa kami sudah hampir mendekati stasiun Hongdae. Saking
asyiknya melayani pertanyaan anak itu, waktu tempuh menuju Hongdae jadi terasa
cepat sekali. Aku pun harus berpamitan pada anak yang sampai turun dari subway
aku lupa tanyakan namanya. Seharusnya aku berfoto dengannya. Dia melambaikan
tangannya saat aku turun. Ibunya menundukkan kepalanya sebagai salam
perpisahan.
Oreo itu masih aku pegang. Oreo ini
mahal sekali. Untuk bisa mendapatkannya aku harus menaiki pesawat, berpindah –
pindah kota, beberapa kali naik bus dan subway sampai akhirnya
aku bisa bertemu dengan anak itu. Wajah anak cerdas itu masih terbayang –
bayang jelas di pelupuk mataku. Apakah nasib akan mempertemukan kami lagi? Aku
sangat ingin bertemu denganmu lagi, nak. Apakah saat ini kau sudah bisa
memainkan seruling pemberianku. Aku masih belum bisa memakan Oreo pemberianmu. Oreo itu
masih tersimpan di kotak walaupun sudah berubah bentuk menjadi potongan –
potongan karena tertindih barang lain ketika kusimpan di ranselku.
Sepertinya Oreo itu tak akan pernah bisa kumakan. Oreo itu
bagian dari cerita penting dalam perjalanku bersama 10 orang murid dan seorang
guru seni ke Korea Selatan selama 10 hari.
Comments